Seni Tari Balet: Setia Mengalun di Tengah Budaya Pop

30 October 2011




Alunan musik klasik merdu mengiringi belasan bocah-bocah yang meliuk-liukkan tubuhnya. Dipandu oleh dua orang guru, mereka terlihat serius berlatih tari balet yang berasal dari Eropa tersebut. Dengan kostum khas ballerina, anak-anak umuran SD ini terlihat lucu dan menarik.

Pemandangan ini biasa terlihat setiap sore di Maranatha Ballet, sebuah tempat kursus tari balet yang cukup terkenal di kota Semarang. Balet memang bukan suatu seni yang banyak diminati orang. Eksistensi balet di semarang pun tidak banyak diketahui masyarakat. Namun pemikiran kita akan berubah ketika menyaksikan ballerina-ballerina ini beraksi. Ada rasa yang janggal mengapa balet tidak sefenomenal break dance atau hip hop.

Balet merupakan tarian indah yang bermula dari tarian kerajaan Mesir. Orang-orang Eropa macam Inggris, Perancis, Soviet, dan Rusia kemudian membentuk sebuah rumusan baru sehingga terciptalah tari balet. Pada abad ke-18, tarian balet mulai dikenal oleh masyarakat di Eropa berkat karya besar Jean-Georges Noverre dari Perancis.
Adalah Helen Prasada (59), pemilik sekaligus pelatih senior Maranatha Ballet. Di aula yang cukup luas di Jalan Kyai Saleh ini, sehari-harinya ia didampingi tenaga pengajar lain melatih balet. Balerina-balerina ciliknya ada lebih dari 70 orang, sedangkan pengajar ada 4 orang. Semuanya terbagi dalam beberapa kelas dengan grade masing-masing. “Saya ingin mengenalkan balet ke orang yang benar-benar ingin menekuninya,” ungkap wanita yang sudah menari balet sejak kecil ini.



Murid-murid berasal dari berbagai umur, mulai dari 4 sampai 40 tahun. Kurikulum yang diterapkan di sini adalah Royal Academic of Dance (RAD) yang merupakan standar internasional. Maranatha Ballet sendiri telah terdaftar dalam RAD sehingga mampu mencetak lulusan yang berkualitas.

Wanita beranak tiga ini menjelaskan, balet merupakan seni tari yang kurang booming di masyarakat kita. Namun ia senang banyak anak-anak yang mau berlatih di sanggar yang berumur lebih dari 40 tahun itu. Bahkan ia menyediakan beasiswa bagi muridnya yang memiliki nilai bagus pada ujian akhir.

Maranatha sendiri menggelar pentas tahunan sebagai wadah orang tua murid untuk menyaksikan perkembangan anaknya selama kursus. Pertunjukkan tahun ini digelar pada bulan Agustus bertajuk “Putri Tidur”. Sebelumnya, mereka pernah juga menggelar pentas dengan mencampurkan budaya lokal dalam pentas Jaka Tarub dan Rama Shinta.

Selain pentas tahunan, karya ballerina didikan Maranatha telah hadir dalam sebuah film dengan judul “Cinta Ballerina, Hati yang Gembira adalah Obat”. Film lokal yang baru saja launching tersebut diproduksi oleh para seniman Semarang dengan melibatkan murid-murid Maranatha. “Walaupun kemampuan saya tidak besar, saya ingin memasyarakatkan balet pada orang-orang awam di sekitar kita,” kata Helena yang tidak pernah berhenti belajar balet sampai sekarang.

0 komentar:

Post a Comment